Konversi
lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian sebenarnya
bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian menuntut
pembangunan infrastruktur. Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan
yang berada di Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor
sebagai kota pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 – an sesuai
dengan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan tersebut
membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan bernuansa
pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota yang dipadati
oleh kawasan terbangun dan struktur binaan.
Secara
hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre) yang mempunyai
fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat pendidikan dalam penataan
Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk mendukung fungsi tersebut, Jatinangor
ditetapkan sebagai kawasan pendidikan tinggi berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan
kebijakan tersebut, dipindahkan empat perguruan tinggi dari Bandung ke
Jatinangor yaitu : Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas
Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan
Universitas Winaya Mukti (UNWIM).
Selanjutnyan
“Jatinangor” ditetapkan sebagai “kecamatan” yang sebelumnya bernama Kecamatan
Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001
tentang Penetapan Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten
Sumedang. Pergantian nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001
sehubungan dengan pemekaran
kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan menjadi 26
kecamatan.
Penetapan
fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi mempengaruhi perkembangan
kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi
bukan hanya karena masuknya sivitas akademika tetapi juga karena migrasi pelaku
kegiatan perdagangan dan jasa. Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan
perdesaan yang didominasi oleh pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke
arah ekonomi yang lebih beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain
pertanian, berkembang pula industri dan kerajinan rumah tangga. Perubahan fisik
terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an. Pada umumnya
perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan kegiatan perdagangan,
pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung cepat dengan dibangunnya
4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan
UNWIM, masing-masing pada tahun 1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Perubahan
fisik Kawasan Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan
Jatinangor sebagai kawasan relokasi perguruan tinggi di atas. Kawasan
Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan mengalami perkembangan
sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan. Perkembangan tersebut
diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di sepanjang Jalan Raya Bandung -
Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi mahasiswa. Perkembangan Kawasan
Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah, karena tidak adanya lembaga
yang secara khusus mengelolanya. Lembaga pemerintah yang terdekat adalah
Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi lembaga ini tidak diberikan kewenangan
untuk mengelola kota.
Kondisi
lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi akibat pembangunan yang
tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan
rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat, ketidakteraturan tempat
kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet, penumpukan sampah yang sampai saat
ini belum ada penyelesaiannya. Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan
dalih pembangunan mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir,
longsor serta udara terasa panas dan lahan pertanian yang jumlahnya semakin
hari semakin sedikit. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air karena
hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak. Kawasan Jatinangor yang terbuka
bagi para pendatang, baik sivitas akademika, pedagang dan lainnya telah
mengubah kondisi masyarakat. Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk
lokal. Hal ini semakin menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan
pendatang. Secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi
individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan
melemahnya pemahaman terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial
warga lokal (Bapeda, 2002).
Pada
umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang
terkait
dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah,
pemilik/penghuni
rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah
warga
pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda)
tersingkir
ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap
kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap
Jatinangor.
Perubahan
struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang
signifikan.
Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian
(petani dan
buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya
sektor non
pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti
buruh/karyawan
(23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk
dengan mata
pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta
adalah 70%.
Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi
12 desa
menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah
penganggur
atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari
struktur
pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya
4,1%
lulusan perguruan tinggi.
Secara umum
struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan
ekonomi
perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang
lebih besar
dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan
pertanian
yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota
Jatinangor,
lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non
pertanian.
Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan
toko, foto
kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain.
Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju mahasiswa,
pembantu rumah tangga, dan tukang ojek.
Empat
perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap kehidupan masyarakat
di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa keberadaan perguruan tinggi di
Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor
pertanian ke sektor jasa dan perdagangan. Penduduk yang kehilangan mata
pencaharian karena lahan pertaniannya terjual dan tidak bisa masuk ke sektor
lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk mempertahankan hidup. Namun,
perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah tingkat pendidikan penduduk.
Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi mayoritas penduduk adalah tamatan
Sekolah Dasar.
Mardianta
(2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang perguruan tinggi lebih
banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada penduduk lokal (31,5%).
Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat mengurangi tingkat pengangguran
bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh manfaat ekonomi lebih besar justru
para pendatang. Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12
desa, menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur
atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para pekerja
memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan
tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan bahwa kawasan
Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan kualitas tenaga
kerja yang rendah. Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri
perkotaan selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke
non pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh munculnya
pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang.
Peraturan
Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi masyarakat yang
kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan (urbanized area),
karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola kota yang unsur-unsurnya
berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian, berdasarkan Peraturan
Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup punya kewenangan dan
kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai penyelesaian masalah di
daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan politik dan finansial dari
pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh karena itu, keberadaan lembaga
demikian sebaiknya perlu dikombinasakan dengan lembaga pemerintahan lokal yang
ada (kecamatan dan kelurahan), yang secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat,
tetapi secara fungsional tidak mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah
fisik dan sosial perkotaan.
Kawasan
Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciriciri perkotaan, namun
sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan kota, karena belum ada
dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Perencanaan Kawasan Perkotaan mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi
rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan
Sumber
: Bapeda Kabupaten Sumedang. 2009. Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan
jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan. Dikutip dari http://id.scribd.com/doc/90305992/Laporan-Akhir-Studi-Kelayakan-Kawasan-Jatinangor-Sebagai-Kawasan-Perkotaan.
Club Sosial
(Maulana Yusuf,
Sakina Intansari, Rikma Martliani R, Levina Maharani, Krisna Halcema)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar