Sabtu, 08 Juni 2013

Dampak Pembangunan Perguruan Tinggi Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kawasan Jatinangor oleh Social Club


Konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian sebenarnya bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur. Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan yang berada di Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor sebagai kota pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 – an sesuai dengan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan tersebut membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan bernuansa pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota yang dipadati oleh kawasan terbangun dan struktur binaan.
Secara hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre) yang mempunyai fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat pendidikan dalam penataan Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk mendukung fungsi tersebut, Jatinangor ditetapkan sebagai kawasan pendidikan tinggi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan kebijakan tersebut, dipindahkan empat perguruan tinggi dari Bandung ke Jatinangor yaitu : Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Universitas Winaya Mukti (UNWIM).
Selanjutnyan “Jatinangor” ditetapkan sebagai “kecamatan” yang sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumedang. Pergantian nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001 sehubungan dengan  pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan menjadi 26 kecamatan.
Penetapan fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi mempengaruhi perkembangan kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi bukan hanya karena masuknya sivitas akademika tetapi juga karena migrasi pelaku kegiatan perdagangan dan jasa. Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan perdesaan yang didominasi oleh pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke arah ekonomi yang lebih beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain pertanian, berkembang pula industri dan kerajinan rumah tangga. Perubahan fisik terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an. Pada umumnya perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan kegiatan perdagangan, pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung cepat dengan dibangunnya 4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan UNWIM, masing-masing pada tahun 1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Perubahan fisik Kawasan Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan Jatinangor sebagai kawasan relokasi perguruan tinggi di atas. Kawasan Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan mengalami perkembangan sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan. Perkembangan tersebut diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di sepanjang Jalan Raya Bandung - Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi mahasiswa. Perkembangan Kawasan Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah, karena tidak adanya lembaga yang secara khusus mengelolanya. Lembaga pemerintah yang terdekat adalah Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi lembaga ini tidak diberikan kewenangan untuk mengelola kota.
Kondisi lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi akibat pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat, ketidakteraturan tempat kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet, penumpukan sampah yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya. Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan dalih pembangunan mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir, longsor serta udara terasa panas dan lahan pertanian yang jumlahnya semakin hari semakin sedikit. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air karena hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak. Kawasan Jatinangor yang terbuka bagi para pendatang, baik sivitas akademika, pedagang dan lainnya telah mengubah kondisi masyarakat. Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk lokal. Hal ini semakin menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal (Bapeda, 2002).
Pada umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang terkait dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah, pemilik/penghuni rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah warga pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda) tersingkir ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap Jatinangor.
Perubahan struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang signifikan. Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian (petani dan buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya sektor non pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti buruh/karyawan (23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk dengan mata pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta adalah 70%. Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari struktur pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan tinggi.
Secara umum struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan ekonomi perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang lebih besar dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan pertanian yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota Jatinangor, lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non pertanian. Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan toko, foto kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain. Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju mahasiswa, pembantu rumah tangga, dan tukang ojek.
Empat perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa keberadaan perguruan tinggi di Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor jasa dan perdagangan. Penduduk yang kehilangan mata pencaharian karena lahan pertaniannya terjual dan tidak bisa masuk ke sektor lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk mempertahankan hidup. Namun, perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah tingkat pendidikan penduduk. Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi mayoritas penduduk adalah tamatan Sekolah Dasar.
Mardianta (2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang perguruan tinggi lebih banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada penduduk lokal (31,5%). Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat mengurangi tingkat pengangguran bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh manfaat ekonomi lebih besar justru para pendatang. Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa, menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para pekerja memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan bahwa kawasan Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan kualitas tenaga kerja yang rendah. Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri perkotaan selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke non pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh munculnya pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang.
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi masyarakat yang kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan (urbanized area), karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola kota yang unsur-unsurnya berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian, berdasarkan Peraturan Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup punya kewenangan dan kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai penyelesaian masalah di daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan politik dan finansial dari pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh karena itu, keberadaan lembaga demikian sebaiknya perlu dikombinasakan dengan lembaga pemerintahan lokal yang ada (kecamatan dan kelurahan), yang secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat, tetapi secara fungsional tidak mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah fisik dan sosial perkotaan.
Kawasan Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciriciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan
Sumber : Bapeda Kabupaten Sumedang. 2009. Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan. Dikutip dari http://id.scribd.com/doc/90305992/Laporan-Akhir-Studi-Kelayakan-Kawasan-Jatinangor-Sebagai-Kawasan-Perkotaan.


Club Sosial
(Maulana Yusuf, Sakina Intansari, Rikma Martliani R, Levina Maharani, Krisna Halcema)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar