Rabu, 03 Juli 2013

Penanaman Cabai Untuk Pemanfaatan Lahan Pekarangan

Pemanfaatan lahan pekarangan merupakan salah satu kegiatan yang bisa menciptakan penganekaragaman konsumsi pangan ditengah keterbatasan ketersediaan lahan yang ada. Penganekaragaman konsumsi pangan merupakan upaya memantapkan atau membudayakan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman, guna memenuhi kebutuhan gizi untuk mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif. 

Program pemanfaatan lahan pekarangan adalah pemanfaatan lahan kosong di sekitar rumah. Program ini bertujuan untuk menciptakan sumber pangan lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan menanam sayur-sayuran dipekarangan rumah sendiri diharapkan dapat menciptakan sumber pangan yang bergizi, beragam, dan berimbang. Mengoptimalkan lahan pekarangan sendiri merupakan langkah bijaksana. Selain itu juga dapat mengurangi pengeluaran keluarga sehari-hari, dan membuat pekarangan kita sedap dipandang mata.




Pada hari Sabtu yang lalu tanggal 29 Juni 2013, Klub Sosial Himpro Agri Universitas Padjadjaran telah melaksanakan program “Penanaman Cabai Untuk Pemanfaatan Lahan Pekarangan” di Desa Cikeruh, Jatinangor. Kegiatan ini dilaksanakan di Gedung Madrasah yang bertempat di RW 8 Desa Cikeruh dan dihadiri oleh ibu-ibu RW 8 Desa Cikeruh Jatinangor. Kegiatan yang telah kami lakuakan ialah memberikan penyuluhan mengenai pengertian, manfaat, dan tujuan pemanfaatan lahan pekarangan disertai dengan penyuluhan dan praktek mengenai cara menyemai benih cabai menggunakan media koker (daun pisang). Cabai dipilih karena sayuran jenis ini memiliki harga yang tergolong tinggi sehingga diharapkan setiap rumah tangga dapat mengurangi pengeluarannya untuk membeli cabai hanya dengan memanfaatkan lahan pekarangan disetiap rumahnya
.


Kegiatan ini disambut antusiasme positif ibu-ibu RW 8 Desa Cikeruh, terlihat dari keseriusan dalam memperhatikan paparan yang diberikan serta kemauan dalam mengikuti praktek penyemaian. Sehingga diharapkan kedepannya, ibu-ibu Desa Cikeruh dapat secara mandiri berinisiatif dalam menanam sayuran jenis lain sesuai kebutuhan. Kegiatan ini diakhiri dengan penyerahan plakat dari Ketua Klub Sosial Himpro Agri Universitas Padjadjaran kepada Sekretaris RW 8 Desa Cikeruh secara simbolis. 

Dengan adanya kegiatan ini diharapkan akan menjadi kegiatan rutin di tempat tersebut sehingga dapat mendorong ibu-ibu untuk menciptakan ketahanan pangan minimal di daerah nya sendiri serta dapat mempererat hubungan antara mahasiswa dan masyarakat yang ada di lingkungan Jatinangor.


Rikma Martliani Ramadhan 
150610110052
 

Rabu, 26 Juni 2013

SPSS - Coming Soon


KESETARAAN GENDER DALAM PERTANIAN


Secara umum, kesetaraan gender memiliki arti yaitu kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dll. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

            Saya mengangkat isu tersebut untuk kajian sosial karena isu ini terasa penting bagi kelancaran suatu proses usahatani namun seringkali dianggap sepele oleh masyarakat kita. Di satu sisi, memang kesetaraan gender itu harus diperjuangkan karena sekarang masih banyak terjadi diskriminasi gender terutama dalam pertanian. Tapi di sisi lain, memang sudah banyak yang menyerukan kesetaraan gender dalam pertanian namun sepertinya mereka masih belum memahami kesetaraan gender dalam pertanian yang sesungguhnya. Mereka hanya menuntut persamaan posisi/jabatan, jam kerja, serta upah kerja tanpa mempertimbangkan keahlian berbeda-beda yang dimiliki antara pria dengan wanita.
             
Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan pendidikan bagi penduduk laki-laki dan perempuan. Hal itu dapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan legislative.

                Memang saat ini masih terjadi diskriminasi terhadap fungsi wanita dalam mengembangkan pertanian di Indonesia. Wanita dianggap lemah dan kurang kompeten untuk bekerja di lapangan sehingga pada akhirnya standar upah yang diberikan pun jauh lebih kecil dibawah petani lelaki padahal jam kerja dan fungsinya pun tidak jauh berbeda. Seperti contohnya di Desa Pagerraji Majalengka, upah bagi seorang petani penggarap wanita itu hanya sebesar 20 ribu rupiah, sedangkan untuk petani penggarap pria mencapai 35-40 ribu rupiah. Angka tersebut cukup jauh mengingat kerja yang dilakukan antara keduanya hampir sama, karena untuk kerja yang berat seperti membajak sawah itu menggunakan kerbau yang sebenarnya wanita pun bisa menggunakannya. Jadi untuk kasus ini, menurut saya tidak ada alasan untuk membedakan upah antara pria dengan wanita.

            Prinsip-prinsip dalam penelitian sosial-ekonomi pertanian modern adalah efisiensi, kesetaraan dan kesinambungan yang merupakan suatu "guarantee" terhadap paradigma pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development), dengan kata kunci bahwa manusia adalah kunci keberhasilan pembangunan. Disamping itu pendekatan partisipatif adalah model pendekatan yang menjadi trend dimana masyarakat diperankan secara aktif dalam pelaksanaan mekanisme semua aktivitas sosial ekonomi. Tercermin dalam kesamaan kesempatan dan dampak untuk wanita dan pria dalam konteks sosial dan ekonomi.

Pada berbagai kegiatan agribisnis mungkin mengharuskan perempuan diberikan kesempatan khusus untuk menjamin kesamaan akses terhadap berbagai manfaat. Karena sebagian orang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, maka kita harus mempertimbangkan berbagai hambatan yang ada agar mereka dapat berpartisipasi secara sama. Disinilah pentingnya kegiatan penelitian yang dilakukan secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pola pembagian kerja dan kekuasaan antara pria dan wanita. Dalam hal ini pola hubungan sosial keduanya serta dampak/manfaat yang berbeda dari suatu kegiatan-kegiatan pembangunan terhadap pria dan wanita. Metode analisis gender dianggap penting diterapkan dalam proses identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan. Analisis ini dimaksudkan agar sungguh-sungguh dapat dipastikan bahwa pria dan wanita sama-sama berpartisipasi sesuai dengan potensi dan aspirasi, kebutuhan serta kepentingan mereka, serta sama-sama memperoleh manfaat yang adil.

Wawasan gender ini didasarkan atas tiga prinsip yaitu efisiensi, kesetaraan dan sustainabilitas. Pendekatan wawasan gender meliputi komponen analisis yang terdiri atas analisis konteks pembangunan, analisis stakeholders, analisis mata pencaharian, serta analisis kebutuhan sumber daya dan kendala. Tingkatan analisis terdiri atas tingkat makro (nasional dan internasional), tingkat intermediate (sektor) dan tingkat mikro (masyarakat/keluarga). Adapun komponen proses terdiri atas partisipasi, membangun jaringan kerja, pengumpulan informasi dan penyelesaian konflik. Prioritas konsep ini adalah pada kelompok yang kurang beruntung.

Dari berbagai pengalaman pembangunan di negara berkembang, ditinjau dari sisi sumber daya manusia, wanita merupakan kelompok yang kurang beruntung. Mereka umumnya mengalami marginalisasi baik di bidang politik, ekonomi, pengetahuan dan sosial. Peran wanita dalam pembangunan, termasuk pembangunan pertanian kurang nampak diperhatikan termasuk yang terjadi di Indonesia, meskipun lebih dari 60 persen kegiatan pertanian dilakukan oleh wanita. Oleh karena itu disadari perlunya suatu metode agar peran wanita dalam pembangunan menjadi nyata. Dengan konsep ini diharapkan peran wanita dan pria dilihat sama pentingnya sehingga akan terjadi efisiensi, kesetaraan dan sustainabilitas sehingga tercapai kemandirian masyarakat dan dapat dievaluasi apabila setiap kebijakan dari sektor sudah memperhatikan Gender mainstreaming.

            Lalu saya akan mengambil contoh lain tentang kesetaraan gender dalam usahatani yang berbasis agribisnis, namun bedanya contoh ini saya anggap merupakan contoh yang sudah menerapkan kesetaraan gender yang sebenarnya secara adil. Contoh ini diambil dari sistem pembagian tenaga kerja dan sistem pembagian upah pekerja di PTPN VIII Kebun Ciater yang mengolah komoditas teh. Disini wanita dan pria dibedakan posisi kerjanya pada posisi kerja yang memang membutuhkan keahlian khusus dari pria ataupun keahlian khusus dari wanita. Seperti pada pengoperasian alat berat didalam pabrik pengolahan teh yang membutuhkan tenaga besar dan resiko yang tinggi tidak mungkin dibebankan kepada seorang wanita, jadi pada posisi ini tugasnya diberikan kepada pria yang lebih tahan terhadap resiko yang ada. Sebaliknya pada posisi penyortiran ataupun pengkelasan kualitas teh yang membutuhkan ketelitian serta keterampilan tinggi tidak mungkin ditugaskan kepada laki-laki yang umumnya berkarakter kurang teliti dan terampil, maka tugas tersebut diberikan kepada wanita karena secara alamiah wanita lebih teliti dan terampil untuk hal-hal detail dibandingkan laki-laki.

            Tetapi pada posisi yang sekiranya dapat dilakukan oleh kedua gender tersebut secara baik, PTPN VII tidak melakukan perbedaan posisi kerja antara wanita dengan pria. Seperti pada proses pemetikan daun teh, proses tersebut tidak memerlukan keahlian khusus dan bisa dilakukan baik oleh pria maupun wanita.

            Jadi menurut saya, yang telah dilakukan oleh PTPN VIII tersebut merupakan salahsatu contoh kesetaraan gender yang sebenarnya dimana antara pria dan wanita tidak terdapat diskriminasi melainkan hanya spesialisasi pada posisi kerja yang memang membutuhkan keahlian khusus dari salahsatu gender sehingga antara pria dan wanita dapat saling menunjang untuk kelancaran proses usaha tani yang ada.

            Hal ini yang seharusnya dilakukan oleh seluruh pihak yang ada dalam usaha pertanian di Indonesia, baik pelaku usaha berbasis agribisnis maupun petani rakyat seharusnya menyadari arti dari kesetaraan gender yang sebenarnya sehingga antara pria dan wanita tidak saling bersaing dan menjatuhkan tetapi saling melengkapi dalam memajukan pertanian di Indonesia
.
            Kesimpulannya, kesetaraan gender merupakan suatu keharusan dalam segala bidang termasuk pertanian. Namun yang harus menjadi perhatian yaitu tentang arti kesetaraan yang harus dicermati, kesetaraan gender dalam pertanian disini bukan berarti antara pria dan wanita harus melakukan tugas yang sama, melainkan seharusnya pria dan wanita bekerja melakukan tugas yang menjadi spesialisasinya dengan akses yang sama terhadap berbagai manfaat atau fasilitas pada pabrik ataupun suatu usaha tani tersebut.

Sosial Club
Muhammad Linaldi DA (2010)
150610100065

Sabtu, 08 Juni 2013

Dampak Pembangunan Perguruan Tinggi Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kawasan Jatinangor oleh Social Club


Konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian sebenarnya bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur. Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan yang berada di Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor sebagai kota pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 – an sesuai dengan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan tersebut membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan bernuansa pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota yang dipadati oleh kawasan terbangun dan struktur binaan.
Secara hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre) yang mempunyai fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat pendidikan dalam penataan Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk mendukung fungsi tersebut, Jatinangor ditetapkan sebagai kawasan pendidikan tinggi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan kebijakan tersebut, dipindahkan empat perguruan tinggi dari Bandung ke Jatinangor yaitu : Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Universitas Winaya Mukti (UNWIM).
Selanjutnyan “Jatinangor” ditetapkan sebagai “kecamatan” yang sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001 tentang Penetapan Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten Sumedang. Pergantian nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001 sehubungan dengan  pemekaran kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan menjadi 26 kecamatan.
Penetapan fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi mempengaruhi perkembangan kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi bukan hanya karena masuknya sivitas akademika tetapi juga karena migrasi pelaku kegiatan perdagangan dan jasa. Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan perdesaan yang didominasi oleh pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke arah ekonomi yang lebih beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain pertanian, berkembang pula industri dan kerajinan rumah tangga. Perubahan fisik terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an. Pada umumnya perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan kegiatan perdagangan, pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung cepat dengan dibangunnya 4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan UNWIM, masing-masing pada tahun 1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Perubahan fisik Kawasan Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan Jatinangor sebagai kawasan relokasi perguruan tinggi di atas. Kawasan Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan mengalami perkembangan sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan. Perkembangan tersebut diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di sepanjang Jalan Raya Bandung - Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi mahasiswa. Perkembangan Kawasan Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah, karena tidak adanya lembaga yang secara khusus mengelolanya. Lembaga pemerintah yang terdekat adalah Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi lembaga ini tidak diberikan kewenangan untuk mengelola kota.
Kondisi lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi akibat pembangunan yang tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat, ketidakteraturan tempat kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet, penumpukan sampah yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya. Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan dalih pembangunan mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir, longsor serta udara terasa panas dan lahan pertanian yang jumlahnya semakin hari semakin sedikit. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air karena hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak. Kawasan Jatinangor yang terbuka bagi para pendatang, baik sivitas akademika, pedagang dan lainnya telah mengubah kondisi masyarakat. Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk lokal. Hal ini semakin menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan melemahnya pemahaman terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial warga lokal (Bapeda, 2002).
Pada umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang terkait dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah, pemilik/penghuni rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah warga pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda) tersingkir ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap Jatinangor.
Perubahan struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang signifikan. Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian (petani dan buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya sektor non pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti buruh/karyawan (23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk dengan mata pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta adalah 70%. Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari struktur pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan tinggi.
Secara umum struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan ekonomi perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang lebih besar dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan pertanian yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota Jatinangor, lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non pertanian. Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan toko, foto kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain. Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju mahasiswa, pembantu rumah tangga, dan tukang ojek.
Empat perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa keberadaan perguruan tinggi di Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor jasa dan perdagangan. Penduduk yang kehilangan mata pencaharian karena lahan pertaniannya terjual dan tidak bisa masuk ke sektor lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk mempertahankan hidup. Namun, perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah tingkat pendidikan penduduk. Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi mayoritas penduduk adalah tamatan Sekolah Dasar.
Mardianta (2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang perguruan tinggi lebih banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada penduduk lokal (31,5%). Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat mengurangi tingkat pengangguran bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh manfaat ekonomi lebih besar justru para pendatang. Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12 desa, menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para pekerja memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan bahwa kawasan Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan kualitas tenaga kerja yang rendah. Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri perkotaan selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke non pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh munculnya pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang.
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi masyarakat yang kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan (urbanized area), karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola kota yang unsur-unsurnya berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian, berdasarkan Peraturan Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup punya kewenangan dan kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai penyelesaian masalah di daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan politik dan finansial dari pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh karena itu, keberadaan lembaga demikian sebaiknya perlu dikombinasakan dengan lembaga pemerintahan lokal yang ada (kecamatan dan kelurahan), yang secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat, tetapi secara fungsional tidak mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah fisik dan sosial perkotaan.
Kawasan Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciriciri perkotaan, namun sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan kota, karena belum ada dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan
Sumber : Bapeda Kabupaten Sumedang. 2009. Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan. Dikutip dari http://id.scribd.com/doc/90305992/Laporan-Akhir-Studi-Kelayakan-Kawasan-Jatinangor-Sebagai-Kawasan-Perkotaan.


Club Sosial
(Maulana Yusuf, Sakina Intansari, Rikma Martliani R, Levina Maharani, Krisna Halcema)