Rabu, 26 Juni 2013
KESETARAAN GENDER DALAM PERTANIAN
Secara umum, kesetaraan gender memiliki arti yaitu kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dll. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan
adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan maupun laki-laki.
Saya mengangkat isu tersebut untuk kajian sosial karena isu ini terasa penting bagi
kelancaran suatu proses usahatani namun seringkali dianggap sepele oleh
masyarakat kita. Di satu sisi, memang kesetaraan gender itu harus diperjuangkan
karena sekarang masih banyak terjadi diskriminasi gender terutama dalam
pertanian. Tapi di sisi lain, memang sudah banyak yang menyerukan kesetaraan
gender dalam pertanian namun sepertinya mereka masih belum memahami kesetaraan
gender dalam pertanian yang sesungguhnya. Mereka hanya menuntut persamaan
posisi/jabatan, jam kerja, serta upah kerja tanpa mempertimbangkan keahlian
berbeda-beda yang dimiliki antara pria dengan wanita.
Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan
kesetaraan dan keadilan pendidikan bagi penduduk laki-laki dan perempuan. Hal
itu dapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio partisipasi
pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk
laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta
partisipasi perempuan di bidang politik dan legislative.
Memang saat ini masih
terjadi diskriminasi terhadap fungsi wanita dalam mengembangkan pertanian di
Indonesia. Wanita dianggap lemah dan kurang kompeten untuk bekerja di lapangan sehingga
pada akhirnya standar upah yang diberikan pun jauh lebih kecil dibawah petani
lelaki padahal jam kerja dan fungsinya pun tidak jauh berbeda. Seperti
contohnya di Desa Pagerraji Majalengka, upah bagi seorang petani penggarap
wanita itu hanya sebesar 20 ribu rupiah, sedangkan untuk petani penggarap pria
mencapai 35-40 ribu rupiah. Angka tersebut cukup jauh mengingat kerja yang
dilakukan antara keduanya hampir sama, karena untuk kerja yang berat seperti
membajak sawah itu menggunakan kerbau yang sebenarnya wanita pun bisa
menggunakannya. Jadi untuk kasus ini, menurut saya tidak ada alasan untuk
membedakan upah antara pria dengan wanita.
Prinsip-prinsip
dalam penelitian sosial-ekonomi pertanian modern adalah efisiensi, kesetaraan
dan kesinambungan yang merupakan suatu "guarantee" terhadap paradigma
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development), dengan kata kunci
bahwa manusia adalah kunci keberhasilan pembangunan. Disamping itu pendekatan
partisipatif adalah model pendekatan yang menjadi trend dimana masyarakat
diperankan secara aktif dalam pelaksanaan mekanisme semua aktivitas sosial
ekonomi. Tercermin dalam kesamaan kesempatan dan dampak untuk wanita dan pria
dalam konteks sosial dan ekonomi.
Pada berbagai kegiatan agribisnis
mungkin mengharuskan perempuan diberikan kesempatan khusus untuk menjamin
kesamaan akses terhadap berbagai manfaat. Karena sebagian orang memiliki
kesempatan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, maka kita
harus mempertimbangkan berbagai hambatan yang ada agar mereka dapat
berpartisipasi secara sama. Disinilah pentingnya kegiatan penelitian yang
dilakukan secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pola pembagian
kerja dan kekuasaan antara pria dan wanita. Dalam hal ini pola hubungan sosial
keduanya serta dampak/manfaat yang berbeda dari suatu kegiatan-kegiatan
pembangunan terhadap pria dan wanita. Metode analisis gender dianggap penting
diterapkan dalam proses identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi pembangunan. Analisis ini dimaksudkan agar sungguh-sungguh dapat
dipastikan bahwa pria dan wanita sama-sama berpartisipasi sesuai dengan potensi
dan aspirasi, kebutuhan serta kepentingan mereka, serta sama-sama memperoleh
manfaat yang adil.
Wawasan gender ini didasarkan atas tiga prinsip yaitu
efisiensi, kesetaraan dan sustainabilitas. Pendekatan wawasan gender meliputi komponen analisis yang terdiri atas
analisis konteks pembangunan, analisis stakeholders, analisis mata pencaharian,
serta analisis kebutuhan sumber daya dan kendala. Tingkatan analisis terdiri
atas tingkat makro (nasional dan internasional), tingkat intermediate (sektor)
dan tingkat mikro (masyarakat/keluarga). Adapun komponen proses terdiri atas
partisipasi, membangun jaringan kerja, pengumpulan informasi dan penyelesaian
konflik. Prioritas konsep ini adalah pada kelompok yang kurang beruntung.
Dari berbagai pengalaman pembangunan
di negara berkembang, ditinjau dari sisi sumber daya manusia, wanita merupakan
kelompok yang kurang beruntung. Mereka umumnya mengalami marginalisasi baik di
bidang politik, ekonomi, pengetahuan dan sosial. Peran wanita dalam
pembangunan, termasuk pembangunan pertanian kurang nampak diperhatikan termasuk
yang terjadi di Indonesia, meskipun lebih dari 60 persen kegiatan pertanian
dilakukan oleh wanita. Oleh karena itu disadari perlunya suatu metode agar
peran wanita dalam pembangunan menjadi nyata. Dengan konsep ini diharapkan
peran wanita dan pria dilihat sama pentingnya sehingga akan terjadi efisiensi,
kesetaraan dan sustainabilitas sehingga tercapai kemandirian masyarakat dan
dapat dievaluasi apabila setiap kebijakan dari sektor sudah memperhatikan
Gender mainstreaming.
Lalu saya akan mengambil contoh lain
tentang kesetaraan gender dalam usahatani yang berbasis agribisnis, namun
bedanya contoh ini saya anggap merupakan contoh yang sudah menerapkan
kesetaraan gender yang sebenarnya secara adil. Contoh ini diambil dari sistem
pembagian tenaga kerja dan sistem pembagian upah pekerja di PTPN VIII Kebun
Ciater yang mengolah komoditas teh. Disini wanita dan pria dibedakan posisi
kerjanya pada posisi kerja yang memang membutuhkan keahlian khusus dari pria
ataupun keahlian khusus dari wanita. Seperti pada pengoperasian alat berat
didalam pabrik pengolahan teh yang membutuhkan tenaga besar dan resiko yang
tinggi tidak mungkin dibebankan kepada seorang wanita, jadi pada posisi ini
tugasnya diberikan kepada pria yang lebih tahan terhadap resiko yang ada.
Sebaliknya pada posisi penyortiran ataupun pengkelasan kualitas teh yang
membutuhkan ketelitian serta keterampilan tinggi tidak mungkin ditugaskan
kepada laki-laki yang umumnya berkarakter kurang teliti dan terampil, maka
tugas tersebut diberikan kepada wanita karena secara alamiah wanita lebih
teliti dan terampil untuk hal-hal detail dibandingkan laki-laki.
Tetapi pada posisi yang sekiranya
dapat dilakukan oleh kedua gender tersebut secara baik, PTPN VII tidak
melakukan perbedaan posisi kerja antara wanita dengan pria. Seperti pada proses
pemetikan daun teh, proses tersebut tidak memerlukan keahlian khusus dan bisa
dilakukan baik oleh pria maupun wanita.
Jadi menurut saya, yang telah
dilakukan oleh PTPN VIII tersebut merupakan salahsatu contoh kesetaraan gender
yang sebenarnya dimana antara pria dan wanita tidak terdapat diskriminasi
melainkan hanya spesialisasi pada posisi kerja yang memang membutuhkan keahlian
khusus dari salahsatu gender sehingga antara pria dan wanita dapat saling
menunjang untuk kelancaran proses usaha tani yang ada.
Hal ini yang seharusnya dilakukan
oleh seluruh pihak yang ada dalam usaha pertanian di Indonesia, baik pelaku
usaha berbasis agribisnis maupun petani rakyat seharusnya menyadari arti dari
kesetaraan gender yang sebenarnya sehingga antara pria dan wanita tidak saling
bersaing dan menjatuhkan tetapi saling melengkapi dalam memajukan pertanian di
Indonesia
.
Kesimpulannya,
kesetaraan gender merupakan suatu keharusan dalam segala bidang termasuk
pertanian. Namun yang harus menjadi perhatian yaitu tentang arti kesetaraan
yang harus dicermati, kesetaraan gender dalam pertanian disini bukan berarti
antara pria dan wanita harus melakukan tugas yang sama, melainkan seharusnya
pria dan wanita bekerja melakukan tugas yang menjadi spesialisasinya dengan
akses yang sama terhadap berbagai manfaat atau fasilitas pada pabrik ataupun suatu
usaha tani tersebut.
Sosial
Club
Muhammad
Linaldi DA (2010)
150610100065
Sabtu, 08 Juni 2013
Dampak Pembangunan Perguruan Tinggi Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kawasan Jatinangor oleh Social Club
Konversi
lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian sebenarnya
bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian menuntut
pembangunan infrastruktur. Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan
yang berada di Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor
sebagai kota pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 – an sesuai
dengan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan tersebut
membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan bernuansa
pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota yang dipadati
oleh kawasan terbangun dan struktur binaan.
Secara
hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre) yang mempunyai
fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat pendidikan dalam penataan
Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk mendukung fungsi tersebut, Jatinangor
ditetapkan sebagai kawasan pendidikan tinggi berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan
kebijakan tersebut, dipindahkan empat perguruan tinggi dari Bandung ke
Jatinangor yaitu : Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas
Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan
Universitas Winaya Mukti (UNWIM).
Selanjutnyan
“Jatinangor” ditetapkan sebagai “kecamatan” yang sebelumnya bernama Kecamatan
Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001
tentang Penetapan Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten
Sumedang. Pergantian nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001
sehubungan dengan pemekaran
kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan menjadi 26
kecamatan.
Penetapan
fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi mempengaruhi perkembangan
kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi
bukan hanya karena masuknya sivitas akademika tetapi juga karena migrasi pelaku
kegiatan perdagangan dan jasa. Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan
perdesaan yang didominasi oleh pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke
arah ekonomi yang lebih beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain
pertanian, berkembang pula industri dan kerajinan rumah tangga. Perubahan fisik
terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an. Pada umumnya
perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan kegiatan perdagangan,
pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung cepat dengan dibangunnya
4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan
UNWIM, masing-masing pada tahun 1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Perubahan
fisik Kawasan Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan
Jatinangor sebagai kawasan relokasi perguruan tinggi di atas. Kawasan
Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan mengalami perkembangan
sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan. Perkembangan tersebut
diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di sepanjang Jalan Raya Bandung -
Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi mahasiswa. Perkembangan Kawasan
Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah, karena tidak adanya lembaga
yang secara khusus mengelolanya. Lembaga pemerintah yang terdekat adalah
Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi lembaga ini tidak diberikan kewenangan
untuk mengelola kota.
Kondisi
lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi akibat pembangunan yang
tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan
rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat, ketidakteraturan tempat
kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet, penumpukan sampah yang sampai saat
ini belum ada penyelesaiannya. Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan
dalih pembangunan mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir,
longsor serta udara terasa panas dan lahan pertanian yang jumlahnya semakin
hari semakin sedikit. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air karena
hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak. Kawasan Jatinangor yang terbuka
bagi para pendatang, baik sivitas akademika, pedagang dan lainnya telah
mengubah kondisi masyarakat. Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk
lokal. Hal ini semakin menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan
pendatang. Secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi
individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan
melemahnya pemahaman terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial
warga lokal (Bapeda, 2002).
Pada
umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yang
terkait
dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah,
pemilik/penghuni
rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalah
warga
pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda)
tersingkir
ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap
kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadap
Jatinangor.
Perubahan
struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yang
signifikan.
Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian
(petani dan
buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknya
sektor non
pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan seperti
buruh/karyawan
(23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Penduduk
dengan mata
pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswasta
adalah 70%.
Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi
12 desa
menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah
penganggur
atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Dari
struktur
pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya
4,1%
lulusan perguruan tinggi.
Secara umum
struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkan
ekonomi
perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yang
lebih besar
dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahan
pertanian
yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kota
Jatinangor,
lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor non
pertanian.
Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayan
toko, foto
kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain.
Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju mahasiswa,
pembantu rumah tangga, dan tukang ojek.
Empat
perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap kehidupan masyarakat
di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa keberadaan perguruan tinggi di
Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor
pertanian ke sektor jasa dan perdagangan. Penduduk yang kehilangan mata
pencaharian karena lahan pertaniannya terjual dan tidak bisa masuk ke sektor
lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk mempertahankan hidup. Namun,
perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah tingkat pendidikan penduduk.
Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi mayoritas penduduk adalah tamatan
Sekolah Dasar.
Mardianta
(2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang perguruan tinggi lebih
banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada penduduk lokal (31,5%).
Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat mengurangi tingkat pengangguran
bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh manfaat ekonomi lebih besar justru
para pendatang. Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12
desa, menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur
atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para pekerja
memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan
tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan bahwa kawasan
Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan kualitas tenaga
kerja yang rendah. Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri
perkotaan selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke
non pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh munculnya
pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang.
Peraturan
Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi masyarakat yang
kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan (urbanized area),
karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola kota yang unsur-unsurnya
berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian, berdasarkan Peraturan
Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup punya kewenangan dan
kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai penyelesaian masalah di
daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan politik dan finansial dari
pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh karena itu, keberadaan lembaga
demikian sebaiknya perlu dikombinasakan dengan lembaga pemerintahan lokal yang
ada (kecamatan dan kelurahan), yang secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat,
tetapi secara fungsional tidak mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah
fisik dan sosial perkotaan.
Kawasan
Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciriciri perkotaan, namun
sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan kota, karena belum ada
dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Perencanaan Kawasan Perkotaan mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi
rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan
Sumber
: Bapeda Kabupaten Sumedang. 2009. Laporan Akhir Studi Kelayakan Kawasan
jatinangor Sebagai Kawasan Perkotaan. Dikutip dari http://id.scribd.com/doc/90305992/Laporan-Akhir-Studi-Kelayakan-Kawasan-Jatinangor-Sebagai-Kawasan-Perkotaan.
Club Sosial
(Maulana Yusuf,
Sakina Intansari, Rikma Martliani R, Levina Maharani, Krisna Halcema)
PENGARUH PASAR MODERN ATAU MINIMARKET TERHADAP PENDAPATAN PEDAGANG KELONTONG DI SEKITAR JATINANGOR oleh Social Club
-->
-->
Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern sekarang ini sudah menjadi tuntutan
dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita.
Tidak hanya di kota metropolitan atau kota-kota besar akan tetapi sudah
merambat sampai ke kota kecil di tanah air kita. Sangat mudah dijumpai
minimarket, supermarket bahkan hipermarket disekitar tempat tinggal kita.
Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang
tidak kalah menariknya. Namun dibalik kesenangan tersebut ternyata telah
membuat para pedagang kelas menengah dan teri mengeluh. Mereka dengan tegas
memprotes ekspansi yang sangat agresif dari pedagang kelas atas tersebut.
Hal ini tentu menyebabkan semakin
berkurang nya pendapatan para pedagang kelas menengah kebawah setelah berdiri
nya pasar modern di wilayah mereka. Berdasarkan
uraian di atas dalam isu-isu yang muncul di masyarakat dan dengan berbagai
pertimbangan, maka penulis mencoba untuk melakukan penelitian yang berjudul
“Pengaruh Pasar Modern atau Minimarket terhadap Pendapatan Pedagang Kelontong
di sekitar Jatinangor”.
Faktor-Faktor yang
mempengaruhi perubahan pendapatan
1.
Pengalaman Berusaha
Pengalaman berusaha merupakan bentuk lamanya seorang
pedagang dalam menjalankan usahanya, berdasarakan data penelitian yang didapat,
maka dapat diketahui bahwa lamanya pengalaman pedagang dalam berusaha tidak
menjamin kestabilan tingkat pendapatan yang diperoleh oleh pedagang tersebut
setelah adanya pasar modern.
2.
Modal
Dalam hal modal, modal kerja merupakan satu satunya yang
dapat dijadikan tolak ukur dalam melihat pengaruh setelah adanya pasar modern,
karena modal awal hanya dikeluarkan sekali yaitu pada saat pedagang mendirikan
warung usahanya sedangkan modal kerja dikeluarkan setiap persediaan barang
dagangan nya sudah habis.
3.
Pola
kegiatan usaha
Berdasarkan data penelitian dapat diketahui bahwa jarak
maksimum pasar modern dengan warung responden berjarak 500 meter sedangkan
jarak minimumnya 10 meter (dipisahkan oleh dua bangunan) hal ini tentu akan
membuat persaingan perebutan konsumen di antara keduanya semakin tinggi karena
secara keseluruhan range (jarak yang dibutuhan seseorang untuk mendapatkan barang
kebutuhan, dalam hal ini jarak dengan pasar modern) tidak terlalu jauh sehingga
akses konsumen untuk menuju ke pasar modern pun relative mudah.
4.
Persaingan
Persaingan yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi tiga
yakni persaingan harga, persaingan kualitas dan persaingan variasi barang.
Berikut pembahasan masing-masing persaingan. Pasar Modern menawarkan harga yang
relatif lebih murah dibandingkan dengan warung. Persaingan kedua yang terjadi
ialah persaingan kualitas barang. Persaingan terakhir ialah persaingan
keberagaman/variasi barang. Konsumen cenderung akan lebih memilih berbelanja
ditempat yang memiliki variasi barang yang lebih beragam jika dibandingkan
dengan tempat yang barang dagangannya bersifat homogen karena konsumen akan
mendapatkan alternatif pilihan terhadap barang yang ingin dibeli sesuai dengan
selera atau pun kebutuhan.
5.
Konsumen
Pasar Modern tersebut
hadir dengan berbagai macam barang yang ditawarkan dan terkadang dengan harga
yang lebih murah dibandingkan dengan harga yang terdapat di warun-warung, pasar
modern pun hadir dengan menyediakan fasilitas yang lengkap dan nyaman dalam
berbelanja. Hal-hal ini lah yang menarik para konsumen untuk lebih memilih
berbelanja di pasar modern dibandingkan dengan berbelanja di warung-warung
sekitarnya. Selain itu perubahan gaya hidup dan faktor gengsi dalam diri
konsumen sekarang ini juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan konsumen
lebih memilih berbelanja di pasar modern.
Efek positif adanya pasar modern atau
minimarket
1. Harga yang murah
Hal ini bisa terjadi karena produsen memberikan potongan sangat
besar karena produsen dari Item bersangkutan /
produk merasa sangat terbantu dengan jaringan Distribusi minimarket yg sangat luas, bukan cuma itu saja minimarket juga membeli dengan kuantitas yg sangat besar.
2. Menciptakan lapangan kerja yang banyak sehingga mampu menyerap tenaga
kerja yg ada meskipun tidak begitu signifikan
3. Memberikan pelajaran kompetisi yg baik
dan benar(dalam hal ini jika dalam kelas yg sama
berikut modalnya)
Efek negatif
adanya pasar modern atau minimarket
1.
Mematikan
toko klontong yang ada di sekitarnya ,rasanya kehadiran minimarket memang disiapkan untuk membunuh
pemodal yang
kecil atau yg memiliki kemampuan manajemen yang nihil apalagi tidak ada manajemen
sama sekali.
2.
Masalah pengurangan
pendapatan yang dialami para pedagang toko klontong yang cukup signifikan
karena adanya minimarket.
3. Membuat masyarakat tergoda dan
berbelanja di luar batas kemampuannya.
4.
Tidak adanya kerjasama yang baik antara minimarket itu
sendiri dengan pedagang toko klontong, sehingga membuat para pedagang klontong
pun tidak bisaberbuat apa – apa.
Perbandingan
Pendapatan yang Diterima Sebelum dan Sesudah Adanya Pasar Modern
Hasil penelitian yang dilakukan
terhadap pendapatan yang diterima saat sebelum dan sesudah adanya pasar modern
oleh pedagang kelontong/warung melihatkan terjadinya penurunan pendapatan.
Keberagaman penurunan pendapatan tersebut terjadi karena dominannya pengaruh
keberadaan pasar modern yang berdiri di sekitar warung dan pemukiman padat
penduduk. Dari data yang didapat semua responden mengalami penurunan pendapatan
dengan besar penurunan yang berbeda-beda setiap responden nya. Penurunan
pendapatan terbesar yakni mencapai sebesar
33,5% dari total pendapatan nya per hari, hal ini dikarenakan jarak
warung yang dekat dengan pasar modern (minimarket berlambang lebah) ditambah
karena warung itu sendiri yang kecil sehingga konsumen lebih tertarik
berbelanja ke minimarket di dekatnya.
Dari data yang didapat hanya ada satu
responden yang memiliki tingkat penurunan pendapatan paling kecil dibawah 10%
yakni sebesar 9%. Bahkan hasil itu merupakan bentuk pendapatan paling rendah
yang didapat oleh responden tersebut, rata-rata pendapatan responden tersebut
cukup bisa dikatakan mendekati stabil. Hal tersebut dikarenakan warung yang
dimiliki oleh responden tersebut cukup banyak memiliki pelanggan sehingga sudah
mendapat banyak kepercayaan dari para konsumennya.
Club Sosial
(Wildan
Setiawan, M. Linaldi, Tennisya Febriyanti, Mia Hamidah, Faisal Khairul )
Langganan:
Postingan (Atom)