Pemanfaatan lahan pekarangan
merupakan salah satu kegiatan yang bisa menciptakan penganekaragaman konsumsi
pangan ditengah keterbatasan ketersediaan lahan yang ada. Penganekaragaman
konsumsi pangan merupakan upaya memantapkan atau membudayakan pola konsumsi
pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman, guna memenuhi kebutuhan gizi
untuk mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif.
Program pemanfaatan lahan pekarangan
adalah pemanfaatan lahan kosong di sekitar rumah. Program ini bertujuan untuk
menciptakan sumber pangan lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan menanam sayur-sayuran dipekarangan rumah sendiri diharapkan dapat
menciptakan sumber pangan yang bergizi, beragam, dan berimbang. Mengoptimalkan
lahan pekarangan sendiri merupakan langkah bijaksana. Selain itu juga dapat
mengurangi pengeluaran keluarga sehari-hari, dan membuat pekarangan kita sedap
dipandang mata.
Pada hari Sabtu yang lalu tanggal 29
Juni 2013, Klub Sosial Himpro Agri Universitas Padjadjaran telah melaksanakan
program “Penanaman Cabai Untuk Pemanfaatan Lahan Pekarangan” di Desa Cikeruh,
Jatinangor. Kegiatan ini dilaksanakan di Gedung Madrasah yang bertempat di RW 8
Desa Cikeruh dan dihadiri oleh ibu-ibu RW 8 Desa Cikeruh Jatinangor. Kegiatan
yang telah kami lakuakan ialah memberikan penyuluhan mengenai pengertian,
manfaat, dan tujuan pemanfaatan lahan pekarangan disertai dengan penyuluhan dan
praktek mengenai cara menyemai benih cabai menggunakan media koker (daun
pisang). Cabai dipilih karena sayuran jenis ini memiliki harga yang tergolong
tinggi sehingga diharapkan setiap rumah tangga dapat mengurangi pengeluarannya
untuk membeli cabai hanya dengan memanfaatkan lahan pekarangan disetiap
rumahnya
.
Kegiatan ini disambut antusiasme positif
ibu-ibu RW 8 Desa Cikeruh, terlihat dari keseriusan dalam memperhatikan paparan
yang diberikan serta kemauan dalam mengikuti praktek penyemaian. Sehingga
diharapkan kedepannya, ibu-ibu Desa Cikeruh dapat secara mandiri berinisiatif
dalam menanam sayuran jenis lain sesuai kebutuhan. Kegiatan ini diakhiri dengan
penyerahan plakat dari Ketua Klub Sosial Himpro Agri Universitas Padjadjaran
kepada Sekretaris RW 8 Desa Cikeruh secara simbolis.
Dengan adanya kegiatan ini
diharapkan akan menjadi kegiatan rutin di tempat tersebut sehingga dapat
mendorong ibu-ibu untuk menciptakan ketahanan pangan minimal di daerah nya
sendiri serta dapat mempererat hubungan antara mahasiswa dan masyarakat yang
ada di lingkungan Jatinangor.
Secara umum, kesetaraan gender memiliki arti yaitu kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dll. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan
adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan maupun laki-laki.
Saya mengangkat isu tersebut untuk kajian sosial karena isu ini terasa penting bagi
kelancaran suatu proses usahatani namun seringkali dianggap sepele oleh
masyarakat kita. Di satu sisi, memang kesetaraan gender itu harus diperjuangkan
karena sekarang masih banyak terjadi diskriminasi gender terutama dalam
pertanian. Tapi di sisi lain, memang sudah banyak yang menyerukan kesetaraan
gender dalam pertanian namun sepertinya mereka masih belum memahami kesetaraan
gender dalam pertanian yang sesungguhnya. Mereka hanya menuntut persamaan
posisi/jabatan, jam kerja, serta upah kerja tanpa mempertimbangkan keahlian
berbeda-beda yang dimiliki antara pria dengan wanita.
Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan
kesetaraan dan keadilan pendidikan bagi penduduk laki-laki dan perempuan. Hal
itu dapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio partisipasi
pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk
laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta
partisipasi perempuan di bidang politik dan legislative.
Memang saat ini masih
terjadi diskriminasi terhadap fungsi wanita dalam mengembangkan pertanian di
Indonesia. Wanita dianggap lemah dan kurang kompeten untuk bekerja di lapangan sehingga
pada akhirnya standar upah yang diberikan pun jauh lebih kecil dibawah petani
lelaki padahal jam kerja dan fungsinya pun tidak jauh berbeda. Seperti
contohnya di Desa Pagerraji Majalengka, upah bagi seorang petani penggarap
wanita itu hanya sebesar 20 ribu rupiah, sedangkan untuk petani penggarap pria
mencapai 35-40 ribu rupiah. Angka tersebut cukup jauh mengingat kerja yang
dilakukan antara keduanya hampir sama, karena untuk kerja yang berat seperti
membajak sawah itu menggunakan kerbau yang sebenarnya wanita pun bisa
menggunakannya. Jadi untuk kasus ini, menurut saya tidak ada alasan untuk
membedakan upah antara pria dengan wanita.
Prinsip-prinsip
dalam penelitian sosial-ekonomi pertanian modern adalah efisiensi, kesetaraan
dan kesinambungan yang merupakan suatu "guarantee" terhadap paradigma
pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development), dengan kata kunci
bahwa manusia adalah kunci keberhasilan pembangunan. Disamping itu pendekatan
partisipatif adalah model pendekatan yang menjadi trend dimana masyarakat
diperankan secara aktif dalam pelaksanaan mekanisme semua aktivitas sosial
ekonomi. Tercermin dalam kesamaan kesempatan dan dampak untuk wanita dan pria
dalam konteks sosial dan ekonomi.
Pada berbagai kegiatan agribisnis
mungkin mengharuskan perempuan diberikan kesempatan khusus untuk menjamin
kesamaan akses terhadap berbagai manfaat. Karena sebagian orang memiliki
kesempatan yang lebih baik untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, maka kita
harus mempertimbangkan berbagai hambatan yang ada agar mereka dapat
berpartisipasi secara sama. Disinilah pentingnya kegiatan penelitian yang
dilakukan secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pola pembagian
kerja dan kekuasaan antara pria dan wanita. Dalam hal ini pola hubungan sosial
keduanya serta dampak/manfaat yang berbeda dari suatu kegiatan-kegiatan
pembangunan terhadap pria dan wanita. Metode analisis gender dianggap penting
diterapkan dalam proses identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi pembangunan. Analisis ini dimaksudkan agar sungguh-sungguh dapat
dipastikan bahwa pria dan wanita sama-sama berpartisipasi sesuai dengan potensi
dan aspirasi, kebutuhan serta kepentingan mereka, serta sama-sama memperoleh
manfaat yang adil.
Wawasan gender ini didasarkan atas tiga prinsip yaitu
efisiensi, kesetaraan dan sustainabilitas. Pendekatan wawasan gender meliputi komponen analisis yang terdiri atas
analisis konteks pembangunan, analisis stakeholders, analisis mata pencaharian,
serta analisis kebutuhan sumber daya dan kendala. Tingkatan analisis terdiri
atas tingkat makro (nasional dan internasional), tingkat intermediate (sektor)
dan tingkat mikro (masyarakat/keluarga). Adapun komponen proses terdiri atas
partisipasi, membangun jaringan kerja, pengumpulan informasi dan penyelesaian
konflik. Prioritas konsep ini adalah pada kelompok yang kurang beruntung.
Dari berbagai pengalaman pembangunan
di negara berkembang, ditinjau dari sisi sumber daya manusia, wanita merupakan
kelompok yang kurang beruntung. Mereka umumnya mengalami marginalisasi baik di
bidang politik, ekonomi, pengetahuan dan sosial. Peran wanita dalam
pembangunan, termasuk pembangunan pertanian kurang nampak diperhatikan termasuk
yang terjadi di Indonesia, meskipun lebih dari 60 persen kegiatan pertanian
dilakukan oleh wanita. Oleh karena itu disadari perlunya suatu metode agar
peran wanita dalam pembangunan menjadi nyata. Dengan konsep ini diharapkan
peran wanita dan pria dilihat sama pentingnya sehingga akan terjadi efisiensi,
kesetaraan dan sustainabilitas sehingga tercapai kemandirian masyarakat dan
dapat dievaluasi apabila setiap kebijakan dari sektor sudah memperhatikan
Gender mainstreaming.
Lalu saya akan mengambil contoh lain
tentang kesetaraan gender dalam usahatani yang berbasis agribisnis, namun
bedanya contoh ini saya anggap merupakan contoh yang sudah menerapkan
kesetaraan gender yang sebenarnya secara adil. Contoh ini diambil dari sistem
pembagian tenaga kerja dan sistem pembagian upah pekerja di PTPN VIII Kebun
Ciater yang mengolah komoditas teh. Disini wanita dan pria dibedakan posisi
kerjanya pada posisi kerja yang memang membutuhkan keahlian khusus dari pria
ataupun keahlian khusus dari wanita. Seperti pada pengoperasian alat berat
didalam pabrik pengolahan teh yang membutuhkan tenaga besar dan resiko yang
tinggi tidak mungkin dibebankan kepada seorang wanita, jadi pada posisi ini
tugasnya diberikan kepada pria yang lebih tahan terhadap resiko yang ada.
Sebaliknya pada posisi penyortiran ataupun pengkelasan kualitas teh yang
membutuhkan ketelitian serta keterampilan tinggi tidak mungkin ditugaskan
kepada laki-laki yang umumnya berkarakter kurang teliti dan terampil, maka
tugas tersebut diberikan kepada wanita karena secara alamiah wanita lebih
teliti dan terampil untuk hal-hal detail dibandingkan laki-laki.
Tetapi pada posisi yang sekiranya
dapat dilakukan oleh kedua gender tersebut secara baik, PTPN VII tidak
melakukan perbedaan posisi kerja antara wanita dengan pria. Seperti pada proses
pemetikan daun teh, proses tersebut tidak memerlukan keahlian khusus dan bisa
dilakukan baik oleh pria maupun wanita.
Jadi menurut saya, yang telah
dilakukan oleh PTPN VIII tersebut merupakan salahsatu contoh kesetaraan gender
yang sebenarnya dimana antara pria dan wanita tidak terdapat diskriminasi
melainkan hanya spesialisasi pada posisi kerja yang memang membutuhkan keahlian
khusus dari salahsatu gender sehingga antara pria dan wanita dapat saling
menunjang untuk kelancaran proses usaha tani yang ada.
Hal ini yang seharusnya dilakukan
oleh seluruh pihak yang ada dalam usaha pertanian di Indonesia, baik pelaku
usaha berbasis agribisnis maupun petani rakyat seharusnya menyadari arti dari
kesetaraan gender yang sebenarnya sehingga antara pria dan wanita tidak saling
bersaing dan menjatuhkan tetapi saling melengkapi dalam memajukan pertanian di
Indonesia
.
Kesimpulannya,
kesetaraan gender merupakan suatu keharusan dalam segala bidang termasuk
pertanian. Namun yang harus menjadi perhatian yaitu tentang arti kesetaraan
yang harus dicermati, kesetaraan gender dalam pertanian disini bukan berarti
antara pria dan wanita harus melakukan tugas yang sama, melainkan seharusnya
pria dan wanita bekerja melakukan tugas yang menjadi spesialisasinya dengan
akses yang sama terhadap berbagai manfaat atau fasilitas pada pabrik ataupun suatu
usaha tani tersebut.
Konversi
lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian sebenarnya
bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian menuntut
pembangunan infrastruktur. Jatinangor pada awalnya merupakan salah satu kawasan
yang berada di Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang. Penetapan Jatinagor
sebagai kota pendidikan tinggi telah direncanakan sejak tahun 1980 – an sesuai
dengan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan tersebut
membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan bernuansa
pedesaan dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota yang dipadati
oleh kawasan terbangun dan struktur binaan.
Secara
hirarkis Jatinangor ditetapkan sebagai sub-pusat (sub-centre) yang mempunyai
fungsi sebagai pembangkit pertumbuhan lokal dan pusat pendidikan dalam penataan
Kawasan Metropolitan Bandung. Untuk mendukung fungsi tersebut, Jatinangor
ditetapkan sebagai kawasan pendidikan tinggi berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 583/SK-PIK/1989. Dengan
kebijakan tersebut, dipindahkan empat perguruan tinggi dari Bandung ke
Jatinangor yaitu : Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas
Padjadjaran (UNPAD), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan
Universitas Winaya Mukti (UNWIM).
Selanjutnyan
“Jatinangor” ditetapkan sebagai “kecamatan” yang sebelumnya bernama Kecamatan
Cikeruh melaui Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 51 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Kecamatan serta Keputusan Bupati Sumedang Nomor 6 Tahun 2001
tentang Penetapan Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kecamatan di Kabupaten
Sumedang. Pergantian nama tersebut disahkan pada tanggal 24 Februari 2001
sehubungan denganpemekaran
kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sumedang dari 18 kecamatan menjadi 26
kecamatan.
Penetapan
fungsi Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi mempengaruhi perkembangan
kota tersebut dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi
bukan hanya karena masuknya sivitas akademika tetapi juga karena migrasi pelaku
kegiatan perdagangan dan jasa. Pada awalnya Jatinangor merupakan kawasan
perdesaan yang didominasi oleh pertanian. Beberapa desa mengalami perubahan ke
arah ekonomi yang lebih beragam. Sebagai contoh, di Desa Cipacing selain
pertanian, berkembang pula industri dan kerajinan rumah tangga. Perubahan fisik
terjadi antara tahun 1970 sampai dengan awal tahun 1980-an. Pada umumnya
perubahan tersebut terjadi karena adanya perluasan kegiatan perdagangan,
pemerintahan dan industri. Perubahan fisik berlangsung cepat dengan dibangunnya
4 (empat) Perguruan Tinggi di kawasan tersebut yaitu : IKOPIN, UNPAD, STPDN dan
UNWIM, masing-masing pada tahun 1979, 1980, 1981 dan tahun 1986. Perubahan
fisik Kawasan Jatinangor terjadi secara besar-besaran setelah penetapan
Jatinangor sebagai kawasan relokasi perguruan tinggi di atas. Kawasan
Jatinangor saat ini telah menjadi kota kecil yang terus akan mengalami perkembangan
sejalan dengan fungsinya sebagai lokasi pendidikan. Perkembangan tersebut
diawali oleh tumbuhnya kegiatan perdagangan di sepanjang Jalan Raya Bandung -
Sumedang, permukiman, berbagai jasa bagi mahasiswa. Perkembangan Kawasan
Jatinangor pada saat ini semakin tidak terarah, karena tidak adanya lembaga
yang secara khusus mengelolanya. Lembaga pemerintah yang terdekat adalah
Organisasi Kecamatan Jatinangor, tetapi lembaga ini tidak diberikan kewenangan
untuk mengelola kota.
Kondisi
lingkungan Jatinangor pada saat ini mengalami degradasi akibat pembangunan yang
tidak terencana dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan
rumah/gedung yang tidak teratur, perumahan yang padat, ketidakteraturan tempat
kos, kumuh, jalanan sempit dan rawan macet, penumpukan sampah yang sampai saat
ini belum ada penyelesaiannya. Pembukaan lahan yang tidak terkendali dengan
dalih pembangunan mengakibatkan Jatinangor menjadi tidak nyaman, rawan banjir,
longsor serta udara terasa panas dan lahan pertanian yang jumlahnya semakin
hari semakin sedikit. Pada musim kemarau, Jatinangor mengalami kesulitan air karena
hutan sebagai wilayah konservasi telah rusak. Kawasan Jatinangor yang terbuka
bagi para pendatang, baik sivitas akademika, pedagang dan lainnya telah
mengubah kondisi masyarakat. Kehadiran pendatang telah memarjinalkan penduduk
lokal. Hal ini semakin menambah kesenjangan sosial antara penduduk lokal dan
pendatang. Secara sosiologis, sikap masyarakat mulai berubah menjadi
individualistis. Pengaruh interaksi antar warga pendatang mengakibatkan
melemahnya pemahaman terhadap agama, degradasi moral dan retaknya sistem sosial
warga lokal (Bapeda, 2002).
Pada
umumnya penduduk pendatang mempunyai tempat tinggal yangterkait
dengan kegiatan usaha yang dimiliki. Di Desa Hegarmanah,pemilik/penghuni
rumah sepanjang jalan raya Sumedang-Jatinangor adalahwarga
pendatang sementara pemilik/penghuni sebelumnya (etnis Sunda)tersingkir
ke lokasi lain di luar Jatinangor. Hal tersebut sangat berpengaruhterhadap
kehidupan sosial di masyarakat, termasuk rasa memiliki terhadapJatinangor.
Perubahan
struktur pekerjaan juga menunjukkan angka-angka yangsignifikan.
Secara keseluruhan penduduk yang bekerja di sektor pertanian(petani dan
buruh tani) tidak lagi mendominasi struktur pekerjaan. Sebaliknyasektor non
pertanian menjadi sektor mata pencaharian yang dominan sepertiburuh/karyawan
(23,9%), PNS/TNI (22,5%) serta wirausaha (21,1%). Pendudukdengan mata
pencaharian buruh tani, pedagang, buruh/karyawan dan wiraswastaadalah 70%.
Hasil sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi12 desa
menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalahpenganggur
atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Daristruktur
pendidikan para pekerja terlihat hampir 50% lulusan SD dan hanya4,1%
lulusan perguruan tinggi.
Secara umum
struktur ekonomi masyarakat Jatinangor mencerminkanekonomi
perkotaan, meskipun buruh tani masih mempunyai persentase yanglebih besar
dibandingkan dengan pedagang. Namun, mengingat luas lahanpertanian
yang semakin berkurang seiring dengan perkembangan kotaJatinangor,
lambat laun kegiatan buruh tani akan bergeser pula ke sektor nonpertanian.
Hampir 25% penduduk bekerja sebagai karyawan pabrik, pelayantoko, foto
kopi, rental komputer, wartel, rumah makan, hotel dan lain-lain.
Selain itu juga mencakup buruh bangunan, tukang sapu, tukang cuci baju mahasiswa,
pembantu rumah tangga, dan tukang ojek.
Empat
perguruan tinggi tersebut menimbulkan perubahan terhadap kehidupan masyarakat
di sekitarnya. Theresia (1998) menunjukkan bahwa keberadaan perguruan tinggi di
Jatinangor mengakibatkan pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor
pertanian ke sektor jasa dan perdagangan. Penduduk yang kehilangan mata
pencaharian karena lahan pertaniannya terjual dan tidak bisa masuk ke sektor
lain, terpaksa meninggalkan Jatinangor untuk mempertahankan hidup. Namun,
perguruan tinggi di Jatinangor tidak mengubah tingkat pendidikan penduduk.
Sebelum dan sesudah adanya perguruan tinggi mayoritas penduduk adalah tamatan
Sekolah Dasar.
Mardianta
(2001) menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi penunjang perguruan tinggi lebih
banyak dilakukan oleh pendatang (68,5%) dari pada penduduk lokal (31,5%).
Dengan demikian perguruan tinggi kurang dapat mengurangi tingkat pengangguran
bagi penduduk lokal. Pihak yang memperoleh manfaat ekonomi lebih besar justru
para pendatang. Sensus tenaga kerja di Kecamatan Jatinangor yang meliputi 12
desa, menunjukkan bahwa lebih dari 21% penduduk di Jatinangor adalah penganggur
atau bekerja dengan pola dan penghasilan yang tidak jelas. Pendidikan para pekerja
memperlihatkan bahwa hampir 50% lulusan SD dan hanya 4,1% lulusan perguruan
tinggi (Forum Jatinangor, 2004). Angka tersebut memperlihatkan bahwa kawasan
Jatinangor menghadapi dua persoalan yaitu pengangguran dan kualitas tenaga
kerja yang rendah. Perkembangan Jatinangor dari perdesaan menjadi berciri
perkotaan selain dari bergesernya mata pencaharian penduduk dari pertanian ke
non pertanian juga tersedianya beraneka macam barang yang didukung oleh munculnya
pusat-pusat perbelanjaan supermaket, mall bahkan hotel berbintang.
Peraturan
Pemerintah No. 34 Tahun 2009 memberi angin segar bagi masyarakat yang
kawasannya mengalami perkembangan ke arah ciri-ciri perkotaan (urbanized area),
karena diizinkan untuk membentuk badan pengelola kota yang unsur-unsurnya
berasal dari masyarakat non PNS. Namun demikian, berdasarkan Peraturan
Perundangan yang ada, lembaga demikian tidak cukup punya kewenangan dan
kekuatan hukum untuk dapat mengatur dan membiayai penyelesaian masalah di
daerahnya, terutama yang terkait dengan dukungan politik dan finansial dari
pemerintah lokal, provinsi maupun nasional. Oleh karena itu, keberadaan lembaga
demikian sebaiknya perlu dikombinasakan dengan lembaga pemerintahan lokal yang
ada (kecamatan dan kelurahan), yang secara hukum mempunyai kedudukan yang kuat,
tetapi secara fungsional tidak mempunyai tugas dan fungsi menangani masalah
fisik dan sosial perkotaan.
Kawasan
Jatinangor walaupun mengalami perkembangan ke arah ciriciri perkotaan, namun
sampai saat ini masih belum berstatus sebagai kecamatan kota, karena belum ada
dasar hukum yang memayunginya.Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Perencanaan Kawasan Perkotaan mengamanatkan bahwa Pengajuan usulan lokasi
rencana kawasan perkotaan baru harus dilengkapi dengan hasil studi kelayakan